Rabu, 11 April 2012

SIAPAKAH YANG BERHAK MENYANDANG AHL AS-SUNNAH WAL JAMAAH ?

SIAPAKAH YANG BERHAK MENYANDANG AHL AS-SUNNAH WAL ‎JAMAAH ‎?


A. ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Setelah mengetahui makna dari masing-masing lafadz Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, ‎perlu diketahui bahwa kata Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah ialah lafadz yang digunakan oleh ‎para Ahli Hadits, Sufiyyah, Asy’ariyyah, dan maturidiyah sebagai nama dari kepribadian ‎mereka. Sebab mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan sejalur dengan ajaran ‎Rasulullah SAW dan para sahabatnya, hanya saja seiring perjalanan waktu, nama ini menjadi ‎simbol bagi para pengikut ke empat golongan tersebut. Sehingga sewaktu nama ini di ‎ucapkan secara mutlak maka dipastikan hanya terarah pada mereka. Keterangan ini di ‎kutip dari kitab Ittihafus Sadah pada permulaan bab Ar – risalah Al – qudsiyyah.‎

 Dalam pembahasan ini ada beberapa hal penting yang erat kaitannya dengan istilah Ahl as-‎Sunnah wa al-Jamâ’ah, di antaranya :‎

I.‎ Bolehkah nama Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah disandang oleh orang-orang yang tidak ‎menganut terhadap salah satu dari madzhab empat dan mengklaim dirinya memiliki ‎potensi untuk melakukan ijtihad dalam rangka menggali suatu hukum meski tidak ‎menguasai bahasa arab ? ‎

 • Sebagaimana keterangan yang telah dibahas, bisa dipastikan bahwa predikat Ahl as-‎Sunnah wa al-Jamâ’ah tidaklah layak disandang oleh mereka, karena mereka tidak ‎termasuk salah satu dari Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Sufiyyah dan Ahli Hadits dengan ‎alasan sebagai berikut :‎

Asy’ariyyah & Maturidiyyah: ‎

 Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi keduanya ‎merupakan sosok figure yang mendukung madzhabnya masing-masing yaitu madzhab ‎Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Sehubungan mereka tidak menganut salah satu dari ‎madzhab empat, maka secara otomatis mereka tidak termasuk golongan ini.‎

Sufiyyah :‎

 Sehubungan mereka sama sekali tidak mau bertaqlid kepada salah satu dari empat ‎madzhab, secara tidak langsung merekapun mengingkari terhadap golongan Sufiyyah, ‎karena dari sekian banyak tokoh-tokoh sufi yang terkemuka seperti Syaikh Abdul ‎Qadir Al Jilany, Abul Qasim Al Junaidy dan Hujjatul Islam Imam Ghazali ‎kesemuanya taqlid kepada salah satu dari empat madzhab.‎

Ahli Hadits :‎

Alasan akan di paparkan pada pembahasan berikutnya.‎

 Kesimpulan : Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah dijelaskan, pengikut madzhab ‎empat secara keseluruhan berhaluan madzhab Asy’ariyyah dan Maturidiyyah kecuali ‎segelintir saja yang memang telah disesatkan oleh Allah SWT sehingga terpengaruh dengan ‎faham Mujassimah (keyakinan bahwa Allah adalahjisim; benda, yang mempunyai ukuran, ‎besar atau kecil) dan Mu’tazilah.‎

II.‎ Dewasa ini banyak sekali kita jumpai golongan yang menamakan dirinya sebagai Ahli ‎Hadits, sebab menurut persepsi mereka dengan mengembalikan segala permasalahan ‎pada Al Qur’an da Al Hadits serta menjauhkan diri dari taqlid pada madzhab empat ‎itu sudah cukup bisa disebut Ahli Hadits, dan ironisnya mereka juga mengklaim ‎dirinya termasuk golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, bagaimana menyikapi ‎fenomena semacam ini ?‎

 • Lafadz Ahli Hadits atau yang lebih dikenal dengan Muhaddits sesuai dengan ‎istilahnya Ulama Ahli Hadits dipergunakan untuk suatu makna yang khusus, yaitu ‎suatu nama bagi seseorang yang sudah memenuhi criteria yang mu’tabar dikalangan ‎Muhadditsin.‎

B. KRITERIA AHLI HADDITS

Sesuai dengan keterangan pada bab yang menjelaskan mengenai Lafadz Musta’mal, ‎yakni jika terdapat lafadz urfi yang khos wajib mengarahkan lafadz tersebut pada makna ‎urfinya, maka lafadz Ahli Hadits wajib di arahkan pada makna yang telah dikenal ‎dikalangan Muhadditsin.‎

 Dalam permasalahan ini Imam Tajuddin Assubki dalam kitabnya Mu’idun Ni’am ‎Wa Mubidun Niqom menuturkan :‎

 المحدث من عرف الأسانيد و العلل وأسماء الرجال والعالى والنازل وحفظ مع ذلك جملة مستكثرة من ‏المتون وسمع الكتب الستة ومسند أحمد وسنن البيهقى ومعجم الطبرنى وضم إلى هذا القدر ألف جزء ‏من الأجزاء الحديثية كان ذلك أقل درجاته فإذا سمع ما ذكرناه ودار على الشيوخ وكتب الطباق ‏وتكلم فى العلل والوفيات والأسانيد عد فى أول درجات المحدثين ثم يزيد الله تعالى من شاء ماشاء اه ‏


 ‎“ Ahli Hadits di kalangan Muhadditsin ialah orang-orang yang mengetahui beberapa hal, ‎antara lain :‎

 • Sanad Hadits

 • Bisa membedakan antara Hadits ‘Aly dan Nazil

 • Mengetahui illat hadits

 • Hafal matan Hadits dalam jumlah banyak

 • Mengatahui nama para perawi hadits

 • Telah menela’ah Kutubus Sittah yaitu: kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan ‎ibn Majah, Sunan Turmudzi, Sunan Abu Dawud dan Sunan An Nasa’I, Musnad Imam ‎Ahmad, Imam Baihaqi, dan Mu’jam Thabrani.‎

 Semua persyaratan di atas merupakan tingkat dasar bagi seorang Muhaddits, ‎sedangkan untuk menempati level awal bagi seorang ahli hadits disyaratkan :‎

 • Telah memperdalam ilmu pada beberapa Muhadditsin

 • Membuat catatan yang berhubungan dengan stratifikasi (tingkatan) perawi hadits

 • Membahas mengenai illat hadits

 • Mengetahui biografi para perawi hadits

 • Mengetahui sanad hadits

Imam Syakhowi (902 H) dalam kitabnya al-Jawahir wad Duror menuturkan ‎‎“Orang yang sekedar mendengar hadits dan tidak memenuhi persyaratan di atas tidak bisa ‎disebut ahli hadits” . pendapat ini didukung oleh Imam Malik, beliau menyatakan ‎‎“Seorang yang hanya mendengar Hadits keilmuan haditsnya belum bisa di i’tibar (tidak ‎boleh diambil ilmu darinya)” karna itulah otomatis tidak bisa disebut dengan ahli hadits.‎


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang mengembalikan segala ‎permasalahan hanya pada dzahirnya Al Qur’an dan Al Hadits serta menjauhkan diri dari ‎taqlid terhadap salah satu dari madzhab empat namun ia tidak memenuhi syarat sebagai ‎ahli hadits sesuai keternagan di atas, maka ia tidak bisa digolongkan sebagai ahli hadits ‎secara makna urfi dan bisa dipastikan pula ia tidak termasuk golongan Ahl as-Sunnah wa ‎al-Jamâ’ah.‎

Seseorang tidak bisa dikatakan ahli dalam satu fan ilmu dengan hanya mengetahui ‎dan mempelajarinya saja, melainkan harus menguasai segala permasalahannya sehingga ‎benar-benar mumpuni dalam ilmu tersebut, seperti halnya seseorang tidak bisa berpredikat ‎sebagai ahli fiqih & nahwu dengan hanya sebatas mengetahui dan mempelajarinya saja.‎


Terlebih lagi bagi seorang yang tidak mengetahui hadits melainkan namanya saja ‎atau hanya sekedar membaca dari buku-buku yang notabene bukan merupakan kitab ‎hadits semisal majalah, surat kabar dan lain sebagainya tidaklah layak dikategorikan sebagai ‎ahli hadits.‎

والله أعلم بالصوا
ب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar